Khasiat Dzikir – Hadits Ke-10

Dari Anas r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul berdzikir kepada Allah hanya mengharap ridha Allah, melainkan pemanggil akan memanggil dari langit, ‘Berdirilah, kalian telah diampuni dan keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan.’” (Ahmad). Dan dalam riwayat Baihaqi dari Abdullah bin Muqaffat r.a. terdapat tambahan: Tidaklah suatu kaum yang berkumpul di suatu majelis, lalu meninggalkannya tanpa dzikrullah, kecuali majelis itu akan menjadi penyesalan bagi mereka pada hari Kiamat.

Faedah

Ketidakberkahan dan kesia-siaan suatu kumpulan atau majelis ini pasti akan membawa penyesalan, dan tidak mustahil majelis itu akan dapat mendatangkan bencana. Disebutkan di dalam sebuah hadits bahwa majelis yang tidak ada dzikrullah atau shalawat di dalamnya, maka ahli majelis itu seperti bangkit dari keledai yang telah mati. Dan sebuah hadits lainnya menyebutkan bahwa kafarah majelis ialah membaca doa berikut ini ketika majelis ditutup:

Subhanallahi wa bihamdihi subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Hadits lainnya menyebutkan, “Majelis apa pun yang di dalamnya tidak diiringi dengan dzikir dan shalawat Nabi saw., maka (majelis itu) menyebabkan penyesalan dan kerugian pada hari Kiamat. Selanjutnya bergantung pada kasih sayang Allah; apakah mereka akan diampuni atau disiksa?” Hadits yang lain menyebutkan, “Tunaikanlah hak-hak majelis, yaitu memperbanyak dzikir kepada Allah, menunjukkan jalan kepada orang yang tidak tahu, dan jika ada sesuatu yang tidak boleh dilihat, tundukkanlah pandangan.”

Ali r.a. berkata, “Barangsiapa menginginkan amalan yang ringan, namun berat timbangannya (berpahala banyak), hendaklah membaca doa berikut ini pada setiap majelis ditutup:

Subhana robbika robbil ’izzati amma yashifuun wa salaamun ‘alal mursaliin wal hamdulillahi robbil ’aalamiin.

Hadits di atas menyebutkan bahwa setiap keburukan akan diganti dengan kebaikan. Berita gembira ini juga terdapat di akhir surat Al-Furqan. Setelah menyebutkan beberapa sifat orang mukmin, Allah swt. berfirman:

“Maka Allah mengganti kejahatan mereka dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Furqan : 70).

Terdapat penafsiran yang berbeda dari alim ulama mengenai ayat di atas, yang dirangkum dalam beberapa kesimpulan berikut ini:

1. Kejahatannya diampuni, tinggal kebaikan yang tersisa. Ini merupakan suatu perubahan sehingga kejahatannya tidak tersisa lagi.

2. Allah memberi mereka taufik untuk tidak berbuat buruk, sebagaimana sebuah ungkapan menyebutkan: Tidak ada panas berarti akan dingin.

3. Kebiasaannya yang dulu untuk keburukan, sekarang digunakan untuk kebaikan. Kebaikan seseorang itu fitrah dari lahir yang tidak dapat berubah, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan: mungkin gunung berubah tempat, namun watak seseorang mustahil berubah. Sesuai dengan sabda Nabi saw., “Jika kalian mendengar ada gunung berpindah tempat, maka percayailah. Namun jika kalian mendengar watak seseorang berubah, janganlah mempercayainya.” Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa perubahan watak seseorang itu lebih mustahil daripada berpindahnya gunung dari suatu tempat ke tempat lain. Lalu kita bertanya, “Apa maksud para ahli sufi dengan ‘memperbaiki kebiasan seseorang’. Jawabannya adalah bahwa yang berubah bukan watak seseorang, tetapi hubungan watak itu. Contohnya, ada seseorang yang bersifat pemarah, lalu para ulama mendidik wataknya untuk bermujahadah agar sifat tersebut hilang, ini sangat sulit. Tetapi, yang diusahakan adalah penyebab kemarahannya. Jika sebelumnya ia marah karena kebendaan sehingga ia berbuat aniaya, takabur, dan lain-lain, kemudian sifat pemarah tersebut disalurkan untuk memarahi orang-orang yang ingkar atau menentang perintah Allah swt.. Demikianlah yang terjadi pada Umar r.a.. Sebelum memeluk Islam, ia sangat memusuhi kaum muslimin. Namun setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sifat marah tersebut ia arahkan kepada orang-orang kafir dan fasik.

4. Demikian pula mengenai akhlak, setelah penjelasan ini kita dapat memahami maksudnya bahwa Allah menghubungkan akhlak orang itu dari kemaksiatan diubah menjadi berhubungan dengan amal shalih (kebaikan).

5. Allah memberi taufik kepada seseorang untuk bertaubat atas dosa-dosanya, sehingga ketika ia mengingat dosa-dosa yang telah lalu, ia menyesal dan bertaubat. Setiap dosanya ia ganti dengan satu taubat. Sedangkan taubat adalah amal shalih. Dengan demikian jelaslah maksud dosa diganti dengan kebaikan.

6. Jika Allah menyukai amal seseorang, kemudian dengan mudah Allah menukar keburukannya dengan kebaikan, maka siapakah yang berhak memudahkannya? Allah Maha Memiliki, Raja Pemilik segala kekuasan. Rahmat-Nya sangat luas. Siapakah yang mampu menutup pintu ampunan-Nya? Siapakah yang mampu menahan karunia-Nya? Dialah Maha Pemberi dari milik-Nya sendiri, yang menunjukkan keluasan kekuasan dan maghfirah-Nya pada suatu hari nanti.

Banyak hadits dengan riwayat yang berbeda, yang menggambarkan tentang keadaan Mahsyar dan hari Hisab, sebagaimana tertulis dalam Bahzatun-Nufus secara ringkas, bahwa hisab akan dibagi menjadi beberapa macam:

a) Dengan rahmat Allah, sebagian hamba Allah akan dihisab secara ter-sembunyi. Dosa-dosanya akan diperhitungkan, lalu dikatakan kepadanya, “Bukankah kamu pernah berbuat dosa ini dan itu, berbuat ini dan itu?” Ia mengakui dosa-dosa itu, sehingga ia merasa menanggung dosa yang sangat banyak dan merasa pasti akan celaka karena dosa-dosanya. Namun, tiba-tiba dikatakan kepadanya, “Di dunia, Kami menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan di sini Kami pun akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu.” Kemudian, ketika golongan itu dikeluarkan dari tempat hisab, maka orang-orang akan menyaksikan dan berkata, “Betapa beruntung hamba ini. Dia tidak berbuat dosa sedikit pun.” Sebab mereka tidak mengetahui dosa-dosa hamba yang dihisab secara sembunyi-sembunyi ini.

b) Ada orang yang menanggung dosa-dosa kecil dan besar. Lalu Allah berfirman, “Baiklah, dosa-dosa kecilmu digantikan dengan kebaikan.” Ia langsung berkata (karena mengharapkan kebaikan lebih banyak lagi), “Masih ada lagi dosa-dosa yang belum disebutkan.”

Demikianlah yang dijelaskan dalam kitab tersebut tentang berbagai jenis hisab, apa yang dikatakan, bagaimana akan diajukan, dan bagaimana akan dihisab. Nabi saw. bersabda, “Aku mengetahui orang yang paling akhir dikeluarkan dari neraka dan yang paling akhir dimasukkan ke dalam surga. Akan dipanggil seseorang, lalu dikatakan kepada para malaikat, “Jangan dihitung dulu dosa-dosa besarnya. Tunjukkan kepadanya dosa-dosa kecilnya dan mintalah pertanggungjawaban dosa kecilnya itu.” Mulailah disebutkan satu persatu dosa-dosanya serta waktunya masing-masing. Bagaimana mungkin ia dapat mengingkarinya? Ia terus mengakuinya. Dalam pada itu, Allah berfirman, “Setiap dosanya akan ditukar dengan kebaikan.” Ia segera berkata, “Masih banyak sisa dosa-dosa yang belum disebutkan.” Nabi saw. mengisahkan kisah ini sambil tersenyum.

Dalam kisah ini disebutkan orang yang paling akhir dikeluarkan dari neraka dengan siksa yang ringan. Tetapi siapakah yang mengetahui tentang orang yang beruntung itu, yang keburukannya diganti dengan pahala? Oleh sebab itu, senantiasa mengharap dan memohon rahmat Allah swt. adalah sifat seorang hamba. Namun, jika terlalu mengandalkannya (lalu berbuat sekehendaknya), ini adalah suatu kedurhakaan. Singkatnya, dapat diketahui dari isi hadits di atas bahwa keburukan dapat diganti menjadi kebaikan disebabkan keikhlasan dalam menghadiri majelis dzikir. Sedangkan keikhlasan itu juga berasal dari Allah swt..

Hal lain yang juga penting adalah tentang orang yang paling akhir keluar dari neraka. Terdapat banyak riwayat yang berbeda mengenainya, tetapi tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang kebenarannya. Jika beberapa orang dikeluarkan sebagai satu jamaah, maka setiap orang yang akan keluar dapat dikatakan yang terakhir keluar dari tempat tersebut. Dan orang yang keluar berdekatan dengan orang yang terakhir keluar pun dianggap orang yang terakhir keluar, atau kelompok itu adalah kelompok yang terakhir keluar.

Di dalam hadits ini ditekankan bahwa yang terpenting ialah keikhlasan. Ikhlas adalah inti penentu (telah dijelaskan dalam hadits-hadits sebelumnya). Jadi pada hakikatnya, yang sangat dihargai Allah adalah nilai keikhlasan. Sejauhmana tingkat keikhlasan seseorang, sejauh itu pula derajat amalan yang akan ia dapatkan. Menurut ahli sufi, hakikat keikhlasan adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan seseorang. Sebuah hadits menyebutkan, “Ikhlas dapat menghentikan seseorang dari perbuatan dosa.” Ditulis di dalam Bahzatun-Nufus tentang seorang Raja yang terkenal sangat zhalim. Ia mengirim berpeti-peti khamr dalam sebuah kapal. Kemudian ada seseorang yang berpapasaan dengan kapal tersebut, dan ia menghancurkan semua botol itu, kecuali sebotol. Tidak ada seorang pun yang mampu menghentikannya. Orang-orang yang menyaksikan perbuatannya itu mencemaskan nasibnya jika ia tertangkap oleh Raja yang zhalim itu. Akhirnya, Raja pun mengetahuinya. Namun ada beberapa hal yang diherankan oleh Raja. Pertama, mengapa ia berani berbuat seperti itu seorang diri, padahal ia hanyalah orang biasa. Kedua, mengapa ia meninggalkan sebuah botol yang tidak dihancurkan? Maka orang itu segera dipanggil dan ditanya mengapa ia berbuat seperti itu. Jawabnya, “Aku melakukan ini karena kehendak hatiku. Sekarang terserah kepadamu jika engkau akan menghukumku.” Raja bertanya, “Mengapa engkau tinggalkan sebuah botol?” Orang itu menjawab, “Pada mulanya aku ingin menghancurkan seluruh botol itu karena gairah Islamku, namun ketika tinggal satu botol, timbul di dalam hatiku rasa senang bahwa aku berhasil menghapus kejahatan. Inilah yang membuatku ragu. Mungkin ini hanya kesenangan hawa nafsuku. Oleh sebab itu, kutinggalkan yang satu botol itu.” Akhirnya Raja berkata, “Lepaskanlah ia, karena itu bukan kehendaknya sendiri.”

Dikisahkan di dalam Ihya Ulumuddin, bahwa ada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang selalu sibuk beribadah. Suatu ketika, orang-orang mendatanginya. Mereka memberitahukan bahwa ada suatu kaum yang menyembah pohon. Mendengar kabar ini, ahli ibadah itu pun marah. Ia segera pergi sambil membawa kapak untuk menebang pohon tersebut. Di tengah jalan, ia bertemu dengan syaitan yang menjelma menjadi seorang laki-laki tua. Laki-laki itu bertanya kepadanya, “Engkau mau kemana?” Abid itu menjawab, “Aku akan menebang pohon itu.” Lelaki jelmaan syaitan itu bertanya lagi, “Apa urusanmu dengan pohon itu? Sebaiknya sibukkan dirimu dengan ibadah saja. Kamu telah meninggalkan ibadah hanya untuk pekerjaan yang sia-sia ini.” Abid menjawab, “Ini juga ibadah.” Sahut syaitan, “Aku tidak akan membiarkanmu menebangnya.” Maka berkelahilah keduanya, dan Abid berhasil menindih dada orang itu dan mengalahkannya. Namun syaitan tetap berusaha merayu Abid dengan berkata, “Baik, dengarlah ucapanku.” Abid pun melepaskannya. Syaitan berkata, “Wahai Abid, bukankah Allah tidak mewajibkan perbuatan ini kepadamu, dan kamu pun tidak merugi dengan perbuatan mereka itu? Kamu tidak ikut menyembah pohon itu, sedangkan Allah memiliki banyak Nabi. Andaikan Allah ingin menebang pohon itu, tentu Allah akan mengirim sebagian Nabi-Nya untuk melakukan hal itu.” Abid berkata, “Aku tetap akan menebangnya.” Mereka pun berkelahi kembali. Dan syaitan dapat dikalahkan untuk kedua kalinya, abid berhasil menindih dadanya. Akhirnya syaitan berkata, “Demi kebaikanmu, aku akan mengatakan sesuatu kepadamu.” “Katakanlah,” sahut abid. Syaitan berkata, “Kamu adalah orang miskin. Itu suatu beban bagimu. Oleh sebab itu, akan kusediakan untukmu tiga dinar emas setiap hari. Dan kamu akan mendapatkannya di bawah bantalmu setiap hari, sehingga segala keperluanmu akan terpenuhi, dan kamu dapat berbuat baik kepada teman-temanmu. Dan dengan uang itu, kamu dapat membantu fakir miskin sehingga mendapat banyak pahala. Sedangkan jika kamu di sini, kamu hanya mendapat satu pahala dan usahamu akan sia-sia saja. Bagaimanakah jika mereka menanam kembali pohon lainnya untuk disembah?” Abid itu akhirnya termakan rayuan syaitan dan menerima tawarannya. Selanjutnya, selama dua hari, abid itu selalu mendapatkan apa yang dijanjikan syaitan kepadanya. Ia menemukan tiga dinar emas di bawah bantalnya. Namun, pada hari ketiga, abid tidak menemukan uang dinar seperti biasanya. Ia pun marah dan segera mengeluarkan kapaknya, lalu pergi untuk menebang kembali pohon yang disembah itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan orang tua (jelmaan syaitan) itu kembali. ”Mau ke mana kamu,” tanya orang tua. Jawab Abid, “Akan kutebang pohon itu.” Orang tua itu berkata, “Kamu tidak akan dapat menebangnya.” Lalu keduanya pun berkelahi. Akhirnya, pada kali ini, orang tua itu berhasil menindih dadanya dan mengalahkan Abid. Abid sangat heran dan bertanya, “Mengapa sebelumnya kamu dapat kukalahkan dan sekarang aku yang kalah?” Jawab orang tua, “Ketika pertama kali datang, kamu marah semata-mata karena Allah, sehingga kamu dapat mengalahkanku. Dan sekarang aku menang, sebab niatmu telah tercampuri oleh urusan harta. Sebab itulah aku menang.”

Jadi, suatu amal yang dikerjakan semata-mata karena Allah swt., akan mempunyai kekuatan yang luar biasa.